Refleksi atas Matius 16:21-28
Tidak ada orang normal mana pun di atas dunia ini yang ingin hidupnya menderita. Semua orang, sejak dulu hingga saat ini tentunya ingin menjalani kehidupan yang baik, lancar, dan tidak harus menderita. Bahkan anggapan umum dalam kehidupan kita hampir selalu melihat penderitaan atau kesusahan sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, sesuatu yang harus dihindari, dan sedapat mungkin tidak dialami sepanjang hidup. Kalau bisa “muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk sorga …”.
Dalam Matius 16:21-28, ketika Yesus mengatakan bahwa Ia harus menghadapi berbagai macam penderitaan, bahkan siksaan, dan kematian yang mengerikan dengan cara dibunuh, Petrus kelihatannya tidak siap. Ia pun mengatakan kepada Yesus, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Bukan hanya Petrus tidak rela Gurunya, Mesiasnya, Tuhannya disiksa dan dibunuh, tapi juga kelihatannya ia tidak siap untuk ikut menderita bersama dengan penderitaan Gurunya itu. Dan itu terbukti dalam rentetan peristiwa penangkapan dan penyaliban Yesus, di mana Petrus menyangkal pengenalannya akan Kristus.
***
Mari kita melihat apa jawaban Yesus kepada Petrus. Pada ayat yang ke-23, dengan keras dan tegas, Yesus mengatakan kepada Petrus, “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Nah lho …
Apa yang kira-kira kita rasakan kalau kita saat itu berada pada posisi Petrus? Dimarahi, bahkan ditengking oleh Yesus, “Enyahlah Iblis! Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, …” Wheeelhadalah ... aku mendoakan jangan sampai hal yang buruk terjadi, kok malah dianggap Iblis. Kira-kira apa yang akan kita rasakan? Kecewa? Sakit hati? Mutung? Atau langsung kabur … Nggak mau lagi ikut Yesus?
Nah, mengapa Yesus sampai mengatakan hal sekeras itu? Mari kita simak lebih lengkap apa yang Yesus katakan, “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” … Ooh, ternyata, saat Petrus mengatakan, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.”, itu menunjukkan bahwa Petrus hanya memikirkan apa yang diinginkannya, bukan apa yang Allah inginkan. Ia hanya merindukan apa yang dirinya rindukan, bukan apa yang Allah Sang Bapa rindukan. Dan itu menunjukkan bahwa Petrus tidak siap menderita bagi Yesus.
***
Memang, tidak setiap kehendak Allah adalah agar kita mengalami penderitaan. Begitu pula sebaliknya, tidak setiap penderitaan yang kita alami adalah kehendak Allah. Saya mencatat paling tidak ada 4 macam penderitaan yang kita alami :
1. Penderitaan oleh karena kelalaian atau kebodohan kita sendiri. Kalau kita sakit paru-paru atau asthma atau kanker karena kecanduan merokok, ya jangan bilang itu penderitaan yang Allah kehendaki. Penderitaan semacam itu jelas-jelas adalah karena kelalaian atau kebodohan kita sendiri. Begitu pula misalnya, kita hidup berkekurangan karena kita malas kerja … kita nggak disukai orang karena sombong, senang mencela atau mengecam orang lain … kita dijauhi orang se-RT atau RW karena hidup seenaknya saja, buang sampah sembarangan, nggak mau bertegur sapa dengan tetangga, nggak pernah bayar iuran warga. :-) Semua itu secara jujur perlu kita akui sebagai penderitaan atau kesusahan atau ketidaknyamanan hidup oleh karena kelalaian atau kebodohan kita sendiri.
2. Penderitaan oleh karena bencana alam, misalnya bencana yang dialami oleh saudara-saudara kita di Aceh, di Nias, di Bantul, atau di Bengkulu. Dalam penderitaan semacam itu, tentu saja tidak ada orang yang benar-benar siap, dan oleh karenanya sangat bisa dipahami kalau dalam kondisi bencana seperti itu, banyak orang menjadi frustrasi, depresi, atau stres karena mereka kehilangan orang-orang yang mereka sayangi atau kehilangan rumah dan harta benda mereka.
***
Dua bentuk penderitaan lainnya, kita bisa gali dari perkataan Yesus kepada Petrus. Yesus mengatakan secara tegas kepada Petrus, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Apa artinya menyangkal diri? Apa artinya memikul salib?
Nah, saya mau mulai dari memikul salib. Apa itu memikul salib? Memikul salib berarti :
3. Menanggung penderitaan oleh karena kita mengalami ketidakadilan (diskriminasi) karena keputusan kita untuk menjadi pengikut Kristus. Siapa yang menyangka bahwa suatu saat gerejanya akan ditutup oleh sekelompok massa? Atau … lihatlah kantor PGI di Jl. Salemba No. 10 yang dirusak oleh para anggota Satpol PP yang tidak bertanggung jawab itu … atau, masih ingatkah kita akan kasus Tibo dan teman-temannya, yang begitu cepat dihukum mati, padahal mulai ada bukti baru yang muncul sebelum dilaksanakannya eksekusi?
Saat kita menderita oleh karena kita mengikut Yesus, kuatkanlah hati kita, kuatkanlah iman kita. Mohonlah kekuatan dari Allah Roh Kudus untuk dapat menghadapi itu semua. Tuhan mengatakan kepada Musa dan juga kepada kita, “Bukankah Aku akan menyertai engkau?” (Keluaran 3:12) Rasul Paulus juga memberikan nasihat kepada orang-orang percaya di kota Roma, “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! … Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! … Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan.” (Roma 12:12, 17, 21) Saat menghadapi penderitaan oleh karena kita disingkirkan di negeri ini sebagai pengikut Kristus, tetaplah teguh menjalankan kehendak Allah seperti Yesus … tetaplah berdiri teguh dalam iman dan dalam kuat kuasa Roh Kudus. Firman Tuhan dalam Matius 10:22 mengatakan, “Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.”
Berikutnya, menyangkal diri. Apa arti menyangkal diri? Menyangkal diri berarti :
4. Menanggung penderitaan atau ketidaknyamanan yang sengaja kita abdikan sebagai bentuk nyata mengikut Yesus, menyangkal diri, dan memikul salib. Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.” (I Yohanes 2:6) Hidup sama seperti Kristus telah hidup berarti hidup menjalani kehendak Bapa di Sorga, bukan menjalani keinginan sendiri. Hidup sama seperti Kristus telah hidup berarti hidup menyangkal diri. Menyangkal diri berarti menanggalkan keinginan diri pribadi kita, dan mengikuti apa yang menjadi keinginan Allah. Mengikut Kristus ternyata tidaklah cukup dengan baptis, sidi, dan punya KTP yang ada tulisan agamanya Kristen. Menjadi pengikut Kristus ternyata belum cukup kalau cuma datang ke gereja, ikut PA, PD, Bidston, dan Sarasehan saja. Mengikut Kristus ternyata bukan soal belajar teologi sampai dapat titel S.Th., S.Si., M.Th., M.Min., D.Min., bahkan Ph.D.. Mengikut Kristus ternyata adalah soal meneladani hidup Kristus.
Kalau saya merasa saya berhak marah-marah karena orang menyakiti diri saya, maka saya perlu menyangkal diri dengan merendahkan diri saya dan memaafkan orang itu dengan sepenuh hati – bahkan berdoa agar Tuhan memberkatinya.
Kalau saya merasa berhak mengecam atau mengkritik orang karena orang tersebut kurang baik di mata saya, maka saya perlu menyangkal diri dengan berintrospeksi, melihat diri saya sendiri – lalu mencoba melihat sisi positif orang itu.
Kalau saya merasa berhak membanggakan kepandaian atau keberhasilan saya di depan orang lain, maka saya perlu menyangkal diri dengan merendahkan diri saya dan mengakui bahwa kepandaian dan keberhasilan adalah berkat Tuhan semata, dan bahwa kepandaian serta keberhasilan itu adalah untuk membuat orang lain pandai dan berhasil juga.
Kalau saya merasa berhak mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk kesenangan hidup saya, istri saya, anak-anak saya, cucu-cucu saya, dan buyut-buyut saya, maka saya perlu menyangkal diri dengan cara mengakui bahwa semua harta saya adalah berkat Tuhan, dan harta saya itu perlu saya gunakan juga untuk mensejahterakan orang lain, menolong orang miskin, memberikan bantuan pendidikan, kesehatan, dan memberikan persembahan.
***
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan suatu cerita kisah nyata dari Somalia, yang diceritakan oleh seorang wartawan asing yang bekerja di sana. Pada suatu hari, ia datang ke suatu desa, dan melihat antrian orang yang begitu panjang untuk mendapatkan bantuan sembako dari PBB. Ada puluhan bahkan mungkin ratusan orang yang mengantri untuk mendapatkan beras, minyak, dan buah-buahan. Dan setelah beberapa lama, karena begitu banyak orang yang mengantri, para relawan pembagi bantuan itu kehabisan beras dan minyak, bahkan hanya buah pisang yang tersisa. Akibatnya, orang-orang yang mengantri pada barisan paling akhir hanya mendapatkan satu buah pisang. Pandangan sang wartawan asing ini pun tiba-tiba tertuju pada seorang anak perempuan yang berumur sekitar 16 tahunan. Dengan tangannya yang kurus dan lemah, ia menerima sebuah pisang dari para relawan PBB itu, namun, ia tidak langsung memakannya. Ia membawa buah pisang itu ke bawah pohon di dekat tempat itu, di mana di sana sudah menunggu 5 orang adiknya yang masih kecil-kecil. Apa yang dia kerjakan? Dia kemudian membagi pisang itu menjadi 5 bagian. Ya, 5 bagian … bukan 6 bagian. Ia kemudian memberikan masing-masing potongan pisang itu kepada adik-adiknya, sedangkan Ia sendiri kemudian hanya menjilati dan menggigiti kulit pisang yang ia tersisa di tangannya.
Sebuah teladan nyata yang sungguh luar biasa tentang penyangkalan diri. Bagaimana dengan kita? Mari mengikut Yesus, mari menyangkal diri, mari memikul salib kita setiap hari.
Tuhan memberkati kita. AMEN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar