31 Januari 2009

Mengubah dengan Empati



Refleksi atas Ulangan 18:15-20, I Korintus 8:1-13, dan Markus 1:21-28


Ada begitu banyak pengetahuan yang kita kenal di dunia ini, namun tidak banyak dari antara pengetahuan itu, yang sungguh-sungguh menyentuh, atau bahkan mengubah hidup manusia.

Ambillah contoh salah satunya, pengetahuan tentang rokok.
Sudah ada begitu banyak penelitian dan tulisan yang memberikan pengetahuan kepada kita, bahwa “rokok itu tidak baik untuk kesehatan”, bahwa “rokok dapat menyebabkan kanker paru-paru”, bahwa “rokok dapat menyebabkan infeksi pernafasan akut”, bahwa “rokok bisa menyebabkan impotensi”, bahwa “rokok bisa merugikan kesehatan janin dalam kandungan”, bahwa “asap rokok merupakan salah satu penyumbang pemanasan global”, bahwa “rokok bukan saja mengandung nicotine, tetapi juga mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya, bahkan mengandung bahan bakar roket”, bahwa “asap rokok yang kita keluarkan di tempat umum bisa merusak kesehatan orang lain” ... dan ... ada banyak penelitian lainnya yang memberikan pengetahuan kepada kita tentang bahaya rokok dan bahaya merokok. Belum lagi himbauan yang sifatnya rohani, misalnya bahwa “merokok berarti merusak tubuh yang adalah Bait Allah”, bahwa “merokok berarti merugikan kesehatan, dan itu berarti kita tidak bertanggung jawab terhadap kesehatan tubuh yang adalah anugerah Allah.” ...

Namun, apakah itu semua mengubah? Kelihatannya kok tidak! Sampai sekarang, masih ada begitu banyak orang yang merokok ... bahkan saat diingatkan tentang bahaya merokok, yang muncul dari para perokok aktif adalah reaksi yang emosional atau jawaban yang dicari-cari ... “mulut kan mulut saya, paru-paru kan paru-paru saya, jadi kenapa situ repot?”, “ah, merokok kan sama bahayanya dengan makan berlebihan, apalagi yang banyak mengandung kolesterol!”, “lho, Mas tau nggak, kalau para perokok berhenti merokok, nanti pabrik rokok akan rugi, dan negara kita akan kehilangan pendapatan besar, dan akan tercipta banyak pengangguran” ...

Saudaraku yang terkasih, jarak antara “kepala” dengan “hati” kita, mungkin hanya dua jengkal. Namun membawa pengetahuan yang ada di kepala kepada kehendak dari dalam hati, ternyata butuh proses yang lebih panjang dari dua jengkal. Bukan hanya soal rokok, tetapi juga tentang begitu banyak hal dalam hidup kita. Paulus mengatakan dengan gaya bahasa sindiran, “Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu "pengetahuan", maka ia belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya.” Apa maksudnya? Maksud Paulus adalah bahwa pengetahuan kita, manakala pengetahuan itu baru sebatas di kepala, baru sebatas tahu, baru sebatas mengerti atau paham, itu belumlah cukup.

Pengetahuan barulah berarti manakala pengetahuan itu mengubah diri kita terlebih dahulu, kemudian mengubah orang lain di sekitar kita. Pengetahuan itu barulah memberi arti, manakala ia membekali kita untuk membangun diri sendiri dan sesama, dan bukan menjadi batu sandungan bagi orang lain.


***

Kita tidak tahu apa persisnya yang Yesus ajarkan kepada orang-orang di dalam rumah ibadat di Kapernaum. Tetapi satu hal pasti, Injil Markus mengatakan bahwa Yesus mengajar mereka “sebagai orang yang berkuasa” ... dan bahwa setelah Yesus mengajar, orang-orang menjadi takjub, dan mengatakan bahwa ajaran Yesus adalah “ajaran yang baru”. Padahal, Yesus mengajar berdasarkan kitab-kitab yang biasa mereka pakai sehari-hari di dalam rumah ibadat.

Apa yang menarik dari pengajaran Yesus? Apa yang menyebabkan Ia dilihat sebagai seorang yang berkuasa? Saudaraku, Yesus disebut “sebagai orang yang berkuasa”, oleh karena Ia mewartakan Sabda Allah dengan wibawa. Wibawa bukan sesuatu yang berasal dari luar tetapi dari kedalaman berpikir, keluasan menimbang, dan integritas pribadi. Seperti air yang mengalir dari lubuk yang dalam sungguh menyegarkan, demikian juga ajaran Yesus. Apalagi ajaran itu mengalir, bukan sekedar dari pengetahuan di kepala, atau dari konsep-konsep motivasi yang didapat dari sana-sini, melainkan dari persatuan yang amat dekat dengan Allah.


Mereka yang mendengar sabda Yesus berkomentar, “Sabda itu baru.” Mengapa? Karena orang yang betul mendengar dan meresapkannya merasa diperbarui. Dan sabda itu efektif, artinya bekerja dan membawa hasil pada hati pendengarnya; lagipula sabda itu membebaskan orang dari kuasa kejahatan. Lihatlah, orang yang dikuasai roh jahat itu dibebaskan oleh Yesus dan dijadikan manusia baru.

Sabda Yesus mempunyai daya luar biasa untuk melawan kuasa kejahatan seperti dilukiskan di dalam Injil. Dan figur Yesus yang mampu mengajar dengan penuh kuasa inilah, yang sudah dinubuatkan di dalam Kitab Ulangan, “Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.”

***

Saudaraku terkasih, saat kita merenung dan melihat, apakah pengajaran kita terhadap sesama kita sudah mengubah, sebagaimana ajaran Yesus mengubah sesama-Nya, mungkin kita melihat bahwa apa yang kita ajarkan masih dalam tahap “memberi pengetahuan”, belum sampai pada tahap “mengubah kehidupan”. Mungkin selama ini kita mengajar anak-anak kita, teman-teman kita, atau kepada sesama warga jemaat, dengan mengandalkan apa yang kita tahu semata-mata. Mungkin apa yang kita tahu, itu pun belum kita yakini betul, belum kita imani betul. Atau, kalau pun kita yakin, bisa jadi apa yang kita ajarkan, sesungguhnya belum kita lakukan dalam hidup kita sendiri. Atau ... sebagaimana pesan penting dari Paulus, bisa jadi kekurangberhasilan kita untuk menolong orang lain untuk berubah, adalah kurangnya kepekaan kita, kurangnya empati kita terhadap perasaan sesama kita. Akibatnya, apa yang kita ajarkan, bukannya membangun, namun justru menjadi batu sandungan.

Dalam pemahaman kita di GKJ, mengajar berarti bukan saja memberi pameleh (menyatakan kesalahan), namun juga berarti memberikan panglipur (penghiburan) bahwa masih ada kesempatan untuk berubah. Mengajar berarti pula memberikan pangatag (dorongan/motivasi) untuk berubah. Itulah kenapa dalam bacaan kita dikatakan bahwa pengajaran Yesus berbeda – tidak seperti ahli-ahli Taurat Yahudi kebanyakan – yang mungkin hanya melulu menyampaikan pameleh secara hukum Yahudi saja.

Secara praktis dalam kehidupan kita. Kalau kita memiliki kerinudan mengajar orang untuk berhenti merokok, misalnya, tidak cukup hanya dengan menyampaikan bahaya rokok dan bahaya merokok. Tidak cukup juga hanya dengan memakai Firman Tuhan untuk menyampaikan kesalahan. Kita perlu memahami perasaan orang tersebut – mengapa ia merokok, sejak kapan ia merokok, apa yang ia rasakan saat ia tidak merokok, dan juga harapan-harapannya kalau ia berhenti merokok. Dengan demikian, kita bisa memberikan penghiburan, bahwa masih ada kesempatan untuk berubah, untuk hidup lebih sehat, untuk hidup kudus di hadapan Tuhan. Dan kita bisa lengkapi ajakan untuk berubah itu dengan memberikan dorongan/motivasi, bahwa dengan hidup lebih sehat, maka ada banyak orang yang akan lebih menghargainya, ada banyak orang yang akan lebih bahagia oleh karena perubahan hidupnya.

Ini hanya satu contoh, tentu saja contoh ini bisa kita terapkan untuk hal-hal yang lain juga.

Nah, Mari kita belajar untuk saling membangun. Mari kita belajar untuk saling mengubah hidup. Bekal pengetahuan yang kita miliki adalah anugerah Tuhan yang bisa kita pergunakan. Pergunakan itu dengan penuh empati, dengan penuh kepedulian ... mulailah dengan mencoba untuk memahami dan mengerti perasaan orang lain. Saat ada perasaan yang dimengerti, saat ada keterbukaan yang tercipta, maka momen pengubahan hidup akan dinyatakan oleh Allah atas kita dan atas saudara-saudara kita.

Tuhan memberkati. Amin.


jk

p.s. : Refleksi ini dikhotbahkan di GKJ Bekasi pada hari Minggu, 1 Februari 2009.



30 Januari 2009

Agus!




Teman kuliah! Teman kost! Teman leda-lede!

Walalaaah ... Agus, Agus!
Setelah sekian lama, kutemukan juga dirimu lagi. :D

Leh mu udud isih 'kategori papat', Thus???


jk



29 Januari 2009

"Mikul Dhuwur Mendem Duren"



Inilah para begawan Sinode GKJ sedang melakukan ritual "mendem duren" pada waktu malam, Kamis, 29 Januari 2009.

Terlihat Pdt. Yahya memimpin ritual tersebut, didukung oleh para begawan lainnya.

Ki-Ka : Pdt. Firdaus (GKJ Medari), Pdt. Setiyadi (GKJ Cipta Wening), Pdt. Yahya (GKJ Purwantoro), Capen Johan (GKJ Bekasi), Pdt. Sundoyo (GKJ Brayat Kinasih), Pdt. Uri (GKJ Danukusuman).

Kata pepatah, "Mikul dhuwur mendem duren" ... :)


jk



Old Friends



Hari ini saya kembali ke Salatiga, tapi kali ini bukan ke Kampoeng Percik, melainkan ke Kantor Sinode.

What a surprise ... seneng banget, bukan hanya ketemu Pak Sekum YTP yang kocak dan suaranya menggelegar, tapi juga ketemu teman-teman kuliah dulu. Ada Teguh, Setiyadi, Sundoyo, Uri, dan Mas Firdaus ...

Wah, seru juga, dah pada jadi pendeta, tapi masih tetap kocak dan guyub seperti dulu. Jarang-jarang nih (calon) pendeta Jabodetabek dapet momentum kayak gini. :)

Denger-denger besok Agus "Kenthus" juga mau datang.

Thanks God for the wonderful moment!


jk



27 Januari 2009

"Nandur Pari Jero"



Refleksi atas Yunus 3:1-5,10 dan Markus 1:14-20


Ada peribahasa atau pepatah Jawa yang berbunyi, “nandur pari jero”. “Pari jero” adalah satu jenis padi lokal dari tanah Jawa, yang memiliki karakteristik yang sangat menarik. Padi jenis ini memiliki sifat yang unggul, karena aromanya yang wangi, rasanya yang enak, dan teksturnya yang halus – pulen lah kalau biasa kita istilahkan. Nah, selain keunggulan sifatnya itu, pari jero juga memiliki karakteristik lain yang unik, yaitu masa hidupnya yang lebih panjang dibandingkan padi-padi jenis lain. Kalau seorang petani menanam jenis padi lainnya bisa panen 3-4 kali setahun, namun kalau ia menanam padi jenis pari jero, ia hanya akan memanen paling banyak 2 kali dalam setahun.

“Nandur pari jero” atau kalau dibahasaindonesiakan “menanam padi jenis pari jero” dengan demikian ingin bicara tentang satu filosofi hidup di mana “kalau kita menghendaki kualitas yang terbaik untuk sesuatu yang kita upayakan, maka kita perlu mengupayakan itu dengan penuh kesabaran”. Ada unsur penantian, bahkan ketidakpastian, yang harus dihadapi bukan dengan sifat tidak sabar atau grasa-grusu – melainkan dengan kesabaran dan kepasrahan kepada alam, dan tentu saja kepada Tuhan yang memelihara alam.

Saudara terkasih, semangat “nandur pari jero” ini kelihatannya bertentangan dengan filosofi kehidupan modern yang kita lihat pada masa kini. Kehidupan modern di sekitar kita menuntut maunya “apa-apa serba cepat” ... kerja harus efisien, efektif, cepat, dan berhasil guna – agar mendatangkan keuntungan.

Nah, tentu saja saya tidak anti terhadap modernisasi, hanya saja saya melihat bahwa kalau modernisasi diterapkan dengan melupakan nilai-nilai luhur yang dinyatakan oleh Firman Tuhan dan kearifan budaya lokal kita, maka komunitas-komunitas kita MUNGKIN sedang berjalan mundur. Nilai-nilai luhur apa yang saya maksudkan tadi? Nah, mari kita coba menyimak bacaan-bacaan kita.


***

Yang pertama, kepada kita diperlihatkan bagaimana Allah memilih dan memakai Yunus bin Amitai, seorang Ibrani atau Yahudi yang masih muda dan bersemangat, untuk menjalankan misi dari Allah. Misinya jelas : menegur penduduk kota Niniwe, agar mereka bertobat kepada Allah – karena kalau tidak, maka Allah berencana akan menghancurkan kota yang besar itu. Apa yang menarik dari pemilihan Allah ini? Ada dua hal. Yang pertama, Yunus bin Amitai bukanlah seorang nabi besar, Alkitab mengisahkan bahwa ia hanyalah seorang Ibrani biasa. Yang kedua, kita melihat dari keseluruhan kitab Yunus, kita melihat bahwa Yunus sebenarnya enggan dipakai oleh Allah, bahwa ia terlihat ogah-ogahan saat harus menjalankan misi Allah itu. Dikisahkan saat ia diperintahkan untuk pergi ke Niniwe, ia justru berniat pelesir ke kota Tarsis. Saat Allah mendatangkan angin ribut, Yunus justru meminta dirinya dibuang saja ke tengah laut. Dan bahkan setelah Allah menyelamatkannya melalui pertolongan ikan besar di laut, Yunus pun masih dengan kaki yang berat dan hati yang ndongkol memberitakan Firman Tuhan. Bahkan di pasal terakhir kita bisa membaca bagaimana pergumulan Yunus untuk memahami apa yang Tuhan kehendaki bagi kota Niniwe.

Yunus bukanlah sosok ideal untuk menjadi nabi Tuhan. Ia sekilas nampaknya bukanlah seorang yang berbakat
sejak lahir untuk menjadi seorang nabi seperti Yesaya atau Yeremia. Namun Saudaraku, perhatikan bagaimana Allah begitu sabar terhadap Yunus. Bagaimana Allah bersetia dengan tujuan-Nya untuk memakai Yunus. Dan bagaimana Allah melalui kesabaran dan kesetiaan-Nya itu mendidik dan membentuk Yunus serta memberdayakannya menjadi alat yang luar biasa bagi Tuhan! ... Kalau seandainya Yunus itu karyawan saya, mungkin saya sudah akan memecat Yunus dari awal, karena perilaku kerjanya tidak efisien, tidak efektif, dan tidak berhasil guna, bahkan ia nyata-nyata bekerja tidak dengan sepenuh hati. Untunglah, bukan saya boss-nya Yunus ... :)

Begitu pula, di dalam bacaan kita dari bagian awal Injil Markus, perhatikan bagaimana Yesus memilih murid-murid-Nya. Perhatikan bagaimana pola rekrutmen yang dilakukan oleh Yesus. Kita tahu bahwa Yesus punya misi yang begitu amat sangat besar : membawa bangsa Israel bahkan seluruh dunia ini ke dalam pertobatan, karena dikatakan oleh Yesus, “Kerajaan Allah sudah dekat!”. Namun lihatlah SIAPA yang dipilih oleh Yesus sebagai murid-murid-Nya yang pertama : Andreas, Simon, Yakobus, dan Yohanes – yang mana mereka semua bekerja sebagai apa??? ... Ya, nelayan! Pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat biasa, rakyat jelata, bahkan di dalam kebudayaan mana pun di dunia, kaum nelayan biasanya adalah kelompok masyarakat yang miskin, terpinggirkan, dan berpendidikan rendah. Perhatikan bahwa Yesus tidak pergi ke Bait Allah dan mencari orang-orang yang terdidik sebagai murid-murid-Nya yang pertama. Yesus tidak mencari mereka yang best of the best. Ironisnya, ia justru mencari orang-orang yang tidak terdidik!

Dan kita kemudian membaca dalam ceritera-ceritera di semua kitab Injil, bagaimana dengan penuh kesabaran dan kesetiaan mereka dibentuk, dididik, dan diberdayakan oleh Yesus menjadi orang-orang yang luar biasa. Ini bukanlah proses yang cepat dan mudah ... Ada banyak dinamika yang terjadi ... murid-murid yang selalu tidak percaya dan bingung apa maksud Yesus ... murid-murid yang begitu emosional dan memperebutkan siapa yang paling disayang Gurunya ... Petrus yang bahkan jatuh ke dalam dosa yang begitu besar dengan menyangkal relasinya dengan Yesus ... bahkan Tomas yang menyangsikan kebangkitan-Nya. Lihatlah, bagaimana semuanya itu tidak dihadapi oleh Yesus dengan pola reward and punishment, namun dengan kesabaran, dengan kesetiaan pada tujuan, dan dengan kehendak hati yang teguh untuk memberdayakan murid-murid-Nya untuk menjadi yang terbaik.

Mari kita lihat apa hasilnya ... mari lihat pasal terakhir dalam Injil Markus, Markus 16:19-20, “Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah. Mereka pun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.” Menurut tradisi Kristiani, dikisahkan bahwa murid-murid Yesus benar-benar pergi ke berbagai penjuru dunia : Prancis, Spanyol, Italia, Yunani, Eropa Timur, Afrika, bahkan Arab dan India! ... erhatikan bagaimana para nelayan-nelayan muda dan orang-orang lain yang begitu sederhana itu diubah dan diberdayakan, ditransformasi oleh Allah menjadi pewarta-pewarta Injil yang terbaik!


***

Nah, Saudaraku, barangkali kita pernah mengeluh dalam hati kita ... kok karyawanku ngono-ngonooo wae ... gitu-gituuu aja – tidak ada perubahan dalam cara dan kualitas kerjanya. Atau, pernahkah kita mengeluh dalam batin kita ... kok pacarku nggak ada perubahan, setiap malam Minggu selalu datang telat minimal 2 jam ... kok anakku sepertinya nggak ada perubahan ... dari dulu nakalnya masih sama, malah pinternya nggak nambah-nambah. Nah, Saudaraku, mari perhatikan ... barangkali, yang salah bukan hanya mereka, namun juga cara pandang kita atau pola yang kita pakai dalam mengelola dan membangun relasi kita dengan sesama. Kita telanjur terhisab oleh cara pikir jaman modern yang menilai orang berdasarkan apa yang mereka kontribusikan bagi diri kita atau bagi komunitas kita ... kita menetapkan indeks-indeks atau label-label yang kurang pas atas sesama kita ... kita mengukur orang lain, teman kita, pacar kita, pasangan kita, anak kita, orang tua kita, karyawan kita, penatua kita, diaken kita, bahkan pendeta kita, berdasarkan seberapa efisien dan efektif mereka bagi kita ... bahkan pola reward and punishment kita terapkan atas sesama kita, dengan melupakan bahwa ada nilai-nilai luhur dari Firman Tuhan dan dari budaya kita yang terlebih dulu perlu kita terapkan dalam menjalani hubungan kita dengan sesama : KESABARAN, KESETIAAN PADA TUJUAN YANG BAIK, DAN KEINGINAN UNTUK SELALU MEMBERDAYAKAN SESAMA.

Saat anak kita nakal, mari kita belajar untuk terlebih dulu bersabar, mengingatkan mereka akan nilai-nilai yang baik, dan kita perbaiki mereka, tidak dengan semangat menghukum, tetapi dengan semangat memberdayakan.

Saat pacar atau pasangan kita sepertinya tidak cukup memperhatikan kita, mari kita bersabar, kita ajak mereka bicara dari hati ke hati (sambil ngeteh mungkin ...), dan kita sadarkan mereka tentang pentingnya hubungan yang sedang dibangun bersama.

Begitu pula saat ada warga jemaat kita, atau penatua, atau diaken, bahkan pendeta kita yang melakukan sesuatu yang kurang pas, mari kita terlebih dahulu menjaga semangat untuk bersabar, untuk menegur dengan menunjukkan apa yang Tuhan kehendaki atas mereka, dan mari kita gandeng mereka, kita tuntun mereka untuk mengenal apa yang terbaik bagi komunitas kita bersama.

Ingatlah, bahwa saat Allah memilih Yunus ... saat Yesus memilih Andreas, Simon, Yakobus dan Yohanes ... bahkan saat Tuhan memilih Anda dan saya menjadi murid-murid-Nya ... sesungguhnya Allah sedang “nandur pari jero” – sabar dalam berproses, bersetia pada tujuan yang benar, dan menjaga dengan teguh semangat untuk memberdayakan menjadi yang terbaik. Allah tidak mengukur seberapa efisien dan efektif kita bagi-Nya (thank God!) ... dan, Allah tidak terburu-buru menerapkan pola reward and punishment dalam hubungan kita dengan-Nya.

Sudahkah nilai-nilai dan semangat itu yang kita pegang dan kita jalankan dalam hidup kita?
Tuhan memberkati. Amin.


jk


Refleksi ini dikhotbahkan di GKJ Bekasi pada hari Minggu, 25 Januari 2009.



20 Januari 2009

Contoh Pejabat yang (Anti) Korupsi




Setelah proyek milyaran selesai, seorang Direktur Departemen kedatangan tamu Konsultan merangkap Kontraktor.

Konsultan : "Pak, ada hadiah dari kami untuk bapak. Saya parkir di ,bawah Toyota Innova."
Direktur : "Anda mau menyuap saya? Ini apa-apaan? Tender dah kelar kok. Jangan gitu ya, bahaya tau ... haree genee ngasih-ngasih hadiah."
Konsultan : "Tolonglah Pak, diterima. Kalau nggak, saya nanti dianggap gagal membina relasi oleh Komisaris."
Direktur : "Aaah, jangan gitu dong. Saya gak sudi!!"
Konsultan (mikir ) : "Gini aja, Pak. Gimana kalau Bapak beli saja mobilnya ..."
Direktur : "Mana saya ada uang beli mobil mahal 'gitu!!"

Konsultan menelpon Komisaris ...

Konsultan : "Saya ada solusi, Pak. Bapak beli mobilnya dengan harga Rp.10.000 saja, Pak."
Direktur : "Bener yaaa? Ok, saya mau. Jadi ini bukan suap. Pakai kwitansi lho ..."
Konsultan : "Tentu, Pak.."


Konsultan menyiapkan dan menyerahkan kwitansi.

Direktur membayar dengan uang Rp. 50 ribuan.

Mereka pun bersalaman.


Konsultan (sambil membuka dompet ) : "Oh iya, maaf, Pak. Ini kembaliannya, Rp. 40.000."
Direktur : "Gak usah pakai kembalian segala. Tolong kirim 4 mobil lagi ke rumah saya ya ..."
Konsultan : @#$%^&*

***


Makasih Pak Paiman Poniman di GKJnet untuk postingannya. :)



jk



12 Januari 2009

(Apakah Memang) Modernitas Berbanding Terbalik dengan Moralitas




Jaman semakin modern. Teknologi informasi pun semakin canggih. Orang bisa belajar apa saja, bisa tahu tentang apa saja dari berbagai media pilihannya : televisi, radio, koran, majalah, bahkan internet. Mulai dari bagaimana memasak Indomie, sampai memasang hulu ledak nuklir pada sebuah peluru kendali. Itu kayaknya alasan mengapa lulusan IT sekarang nggak begitu kepakai – karena teknologi komputer pun bisa dipelajari sampai yang sekecil-kecilnya dari internet. :)


Seharusnya ... sekali lagi, seharusnya, pengetahuan tentang norma, ajaran-ajaran agama, bahkan nilai-nilai moralitas pun bisa diangsu, digali dari internet. Ada begitu banyak situs yang bicara soal "what's right and what's wrong" – mulai dari situs gerakan new-age macam “The Secret”, situs motivator ulung macam Pak Mario Teguh, sampai blog teman saya yang penuh pencerahan nun jauh di Berlin, eh … di Purworejo sana. Namun pada kenyataannya, modernitas memang berbanding terbalik dengan moralitas. Atau … apakah memang benar seperti itu?

Ada apa dengan kita umat manusia? Ah, Tuhan pasti sedang geleng-geleng ... atau garuk-garuk kepala.


jk



08 Januari 2009

Gerak semu




Pernahkah merasakan, saat kita ada di dalam gerbong kereta yang sedang berhenti, bahwa kereta yang kita tumpangi terasa mundur, padahal sebenarnya kereta di sebelah kitalah yang bergerak maju? Atau, kalau kereta yang di samping kita itu berlawanan arah dengan kereta kita, kereta terasa maju, padahal sebenarnya hanya diam. Nah, fenomena seperti itu disebut “gerak semu”.


Dalam hidup, penting untuk terus bergerak maju. Jangan terlalu lama berhenti – saat harus mengambil keputusan, rehat dari momen-momen melelahkan, atau mengenang masa-masa lalu. Kalau kita terlalu lama berhenti, maka kita akan menjadi mundur – atau, merasa maju, padahal sebenarnya kita nggak bergerak ke mana-mana. We become deluded by the false movements of our life.

Keep moving on with your life.


jk



06 Januari 2009

Tuhan Bukan Pedagang




Untungnya Tuhan itu bukan pedagang yah. Maksud loe???

Iya, kalo pedagang kan prinsipnya "ada uang, ada barang".

Coba seandainya Tuhan itu pedagang, prinsipnya kan jadi : "ada persembahan, ada berkat". Waduh, bisa sengsara hidup ini, lha wong persembahanku aja masih belum seimbang ama berkat yang kuterima dari Tuhan jeee ...


jk


Time for shorter postings




Mohon maaf, lama nggak nongol dan nggak nulis. :D

Berhubung sekarang schedule udah makin sibuk, kayaknya gak bakal sempet lagi untuk nulis banyak-banyak di blog. Jadi berikutnya mungkin saya akan nulis yang pendek-pendek aja.

Sempet kepikiran juga untuk masukin ilustrasi-ilustrasi khotbah di sini. Supaya terdokumentasi. Jadi besok-besok, kalo tema khotbahnya pas, kan tinggal copy-paste. Hehehe.

Cheerz,
jk


Perlukah PGI dan KWI mengeluarkan surat penggembalaan mengenai agresi Israel atas Palestina?




Rekan-rekan umat Kristen Indonesia yang dikasihi Tuhan, memasuki minggu ke-2 agresi dan kekerasan pemerintah dan militer Israel di Palestina, PGI dan KWI sebagai lembaga-lembaga keumatan Kristen di Indonesia kok kayaknya adem-ayem aja yah?


Saya mengangkat persoalan ini BUKAN ... sekali lagi BUKAN berangkat dari kekuatiran akan isu yang mulai bergerak ke sentimen agama/umat beragama. Saya kira kita semua mengimani bahwa kita punya Pembela Yang Agung bagi kita - jadi kekuatiran apa pun tidaklah beralasan.

Saya mengangkat diskusi ini karena, hey, bukankah Kekristenan selalu membawa nilai-nilai kasih, keadilan, damai, dan kesejahteraan? Dan tidakkah kita sebagai pengikut Kristus dibuat gelisah oleh apa yang terjadi di Palestina? Terlepas dari persoalan politik yang membelenggu konflik Israel-Palestina sejak dulu, tidakkah kita terusik melihat warga sipil yang tidak berdaya selalu saja menjadi korban?


Nah, menurut rekan-rekan sekalian ... perlukah PGI dan KWI mengeluarkan Surat Penggembalaan bagi umat Kristen Indonesia mengenai agresi dan kekerasan pemerintah dan militer Israel atas rakyat Palestina?

Silakan berpendapat. Tuhan memberkati. Amin.

P.S. : Kalau ternyata PGI dan KWI sudah mengeluarkan surat penggembalaan serupa, berarti saya keliru. Mohon dikoreksi. Terima kasih.


Join my Cause : Umat Kristen Indonesia menentang agresi Israel atas Palestina




Buat kamu yang punya akun Facebook, saya mengundang kita untuk menajamkan kepedulian akan kasih, keadilan, damai, dan kesejahteraan ("mencari kerajaan Allah dan kebenarannya"), melalui gerakan moral dalam bentuk Cause di Facebook.
Visi dari Cause ini adalah untuk menegaskan bahwa umat Kristen Indonesia sungguh-sungguh menentang segala bentuk agresi dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah dan militer Israel atas negara, rakyat, dan bangsa Palestina.
  1. Agresi Israel atas Palestina tidak dapat diterima secara kemanusiaan.
  2. Agresi Israel atas Palestina harus ditentang dan dihentikan dengan cara-cara damai dan non-kekerasan.
  3. Umat Kristen Indonesia mendukung rakyat Palestina untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan, tentunya melalui cara-cara non-kekerasan.
  4. Kekristenan tidak mendukung cara-cara kekerasan dan provokasi melalui penggunaan senjata secara tidak bertanggung jawab, oleh pihak mana pun.
Umat Kristen Indonesia tidak boleh tinggal diam dan gamang mengambil sikap, saat tragedi kemanusiaan yang begitu keji melanda negara, rakyat, dan bangsa Palestina. Saat Yesus mengajarkan "kasihilah sesamamu manusia", maka yang Ia maksudkan dengan "sesamamu" adalah seluruh umat manusia, tanpa kecuali, tanpa batas, dan tanpa sekat apa pun. Saat negara, rakyat, dan bangsa Palestina menderita karena agresi dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah dan militer Israel, maka umat Kristen Indonesia perlu mengambil posisi dan sikap sebagai "sesama" atas mereka yang tertindas dan menderita - negara, rakyat, dan bangsa Palestina. (Bdk. Lukas 10:25-37). Selirih apa pun kita bersuara, mari kita terus gemakan kasih dan damai. Mari kita jaga nyala lilin ini untuk terus menerangi dunia yang semakin gelap. Tuhan memberkati. Amin.

Silakan add saya (Johan Kristantara), nanti saya akan kirimkan 'cause invitation' untuk join di Cause ini.

Atau, silakan browse/find Cause tersebut. Namanya adalah "Umat Kristen Indonesia menentang agresi Israel atas Palestina".