Refleksi atas Ulangan 18:15-20, I Korintus 8:1-13, dan Markus 1:21-28
Ada begitu banyak pengetahuan yang kita kenal di dunia ini, namun tidak banyak dari antara pengetahuan itu, yang sungguh-sungguh menyentuh, atau bahkan mengubah hidup manusia.
Ambillah contoh salah satunya, pengetahuan tentang rokok. Sudah ada begitu banyak penelitian dan tulisan yang memberikan pengetahuan kepada kita, bahwa “rokok itu tidak baik untuk kesehatan”, bahwa “rokok dapat menyebabkan kanker paru-paru”, bahwa “rokok dapat menyebabkan infeksi pernafasan akut”, bahwa “rokok bisa menyebabkan impotensi”, bahwa “rokok bisa merugikan kesehatan janin dalam kandungan”, bahwa “asap rokok merupakan salah satu penyumbang pemanasan global”, bahwa “rokok bukan saja mengandung nicotine, tetapi juga mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya, bahkan mengandung bahan bakar roket”, bahwa “asap rokok yang kita keluarkan di tempat umum bisa merusak kesehatan orang lain” ... dan ... ada banyak penelitian lainnya yang memberikan pengetahuan kepada kita tentang bahaya rokok dan bahaya merokok. Belum lagi himbauan yang sifatnya rohani, misalnya bahwa “merokok berarti merusak tubuh yang adalah Bait Allah”, bahwa “merokok berarti merugikan kesehatan, dan itu berarti kita tidak bertanggung jawab terhadap kesehatan tubuh yang adalah anugerah Allah.” ...
Namun, apakah itu semua mengubah? Kelihatannya kok tidak! Sampai sekarang, masih ada begitu banyak orang yang merokok ... bahkan saat diingatkan tentang bahaya merokok, yang muncul dari para perokok aktif adalah reaksi yang emosional atau jawaban yang dicari-cari ... “mulut kan mulut saya, paru-paru kan paru-paru saya, jadi kenapa situ repot?”, “ah, merokok kan sama bahayanya dengan makan berlebihan, apalagi yang banyak mengandung kolesterol!”, “lho, Mas tau nggak, kalau para perokok berhenti merokok, nanti pabrik rokok akan rugi, dan negara kita akan kehilangan pendapatan besar, dan akan tercipta banyak pengangguran” ...
Saudaraku yang terkasih, jarak antara “kepala” dengan “hati” kita, mungkin hanya dua jengkal. Namun membawa pengetahuan yang ada di kepala kepada kehendak dari dalam hati, ternyata butuh proses yang lebih panjang dari dua jengkal. Bukan hanya soal rokok, tetapi juga tentang begitu banyak hal dalam hidup kita. Paulus mengatakan dengan gaya bahasa sindiran, “Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu "pengetahuan", maka ia belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya.” Apa maksudnya? Maksud Paulus adalah bahwa pengetahuan kita, manakala pengetahuan itu baru sebatas di kepala, baru sebatas tahu, baru sebatas mengerti atau paham, itu belumlah cukup.
Pengetahuan barulah berarti manakala pengetahuan itu mengubah diri kita terlebih dahulu, kemudian mengubah orang lain di sekitar kita. Pengetahuan itu barulah memberi arti, manakala ia membekali kita untuk membangun diri sendiri dan sesama, dan bukan menjadi batu sandungan bagi orang lain.
***
Kita tidak tahu apa persisnya yang Yesus ajarkan kepada orang-orang di dalam rumah ibadat di Kapernaum. Tetapi satu hal pasti, Injil Markus mengatakan bahwa Yesus mengajar mereka “sebagai orang yang berkuasa” ... dan bahwa setelah Yesus mengajar, orang-orang menjadi takjub, dan mengatakan bahwa ajaran Yesus adalah “ajaran yang baru”. Padahal, Yesus mengajar berdasarkan kitab-kitab yang biasa mereka pakai sehari-hari di dalam rumah ibadat.
Apa yang menarik dari pengajaran Yesus? Apa yang menyebabkan Ia dilihat sebagai seorang yang berkuasa? Saudaraku, Yesus disebut “sebagai orang yang berkuasa”, oleh karena Ia mewartakan Sabda Allah dengan wibawa. Wibawa bukan sesuatu yang berasal dari luar tetapi dari kedalaman berpikir, keluasan menimbang, dan integritas pribadi. Seperti air yang mengalir dari lubuk yang dalam sungguh menyegarkan, demikian juga ajaran Yesus. Apalagi ajaran itu mengalir, bukan sekedar dari pengetahuan di kepala, atau dari konsep-konsep motivasi yang didapat dari sana-sini, melainkan dari persatuan yang amat dekat dengan Allah.
Mereka yang mendengar sabda Yesus berkomentar, “Sabda itu baru.” Mengapa? Karena orang yang betul mendengar dan meresapkannya merasa diperbarui. Dan sabda itu efektif, artinya bekerja dan membawa hasil pada hati pendengarnya; lagipula sabda itu membebaskan orang dari kuasa kejahatan. Lihatlah, orang yang dikuasai roh jahat itu dibebaskan oleh Yesus dan dijadikan manusia baru.
Sabda Yesus mempunyai daya luar biasa untuk melawan kuasa kejahatan seperti dilukiskan di dalam Injil. Dan figur Yesus yang mampu mengajar dengan penuh kuasa inilah, yang sudah dinubuatkan di dalam Kitab Ulangan, “Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.”
***
Saudaraku terkasih, saat kita merenung dan melihat, apakah pengajaran kita terhadap sesama kita sudah mengubah, sebagaimana ajaran Yesus mengubah sesama-Nya, mungkin kita melihat bahwa apa yang kita ajarkan masih dalam tahap “memberi pengetahuan”, belum sampai pada tahap “mengubah kehidupan”. Mungkin selama ini kita mengajar anak-anak kita, teman-teman kita, atau kepada sesama warga jemaat, dengan mengandalkan apa yang kita tahu semata-mata. Mungkin apa yang kita tahu, itu pun belum kita yakini betul, belum kita imani betul. Atau, kalau pun kita yakin, bisa jadi apa yang kita ajarkan, sesungguhnya belum kita lakukan dalam hidup kita sendiri. Atau ... sebagaimana pesan penting dari Paulus, bisa jadi kekurangberhasilan kita untuk menolong orang lain untuk berubah, adalah kurangnya kepekaan kita, kurangnya empati kita terhadap perasaan sesama kita. Akibatnya, apa yang kita ajarkan, bukannya membangun, namun justru menjadi batu sandungan.
Dalam pemahaman kita di GKJ, mengajar berarti bukan saja memberi pameleh (menyatakan kesalahan), namun juga berarti memberikan panglipur (penghiburan) bahwa masih ada kesempatan untuk berubah. Mengajar berarti pula memberikan pangatag (dorongan/motivasi) untuk berubah. Itulah kenapa dalam bacaan kita dikatakan bahwa pengajaran Yesus berbeda – tidak seperti ahli-ahli Taurat Yahudi kebanyakan – yang mungkin hanya melulu menyampaikan pameleh secara hukum Yahudi saja.
Secara praktis dalam kehidupan kita. Kalau kita memiliki kerinudan mengajar orang untuk berhenti merokok, misalnya, tidak cukup hanya dengan menyampaikan bahaya rokok dan bahaya merokok. Tidak cukup juga hanya dengan memakai Firman Tuhan untuk menyampaikan kesalahan. Kita perlu memahami perasaan orang tersebut – mengapa ia merokok, sejak kapan ia merokok, apa yang ia rasakan saat ia tidak merokok, dan juga harapan-harapannya kalau ia berhenti merokok. Dengan demikian, kita bisa memberikan penghiburan, bahwa masih ada kesempatan untuk berubah, untuk hidup lebih sehat, untuk hidup kudus di hadapan Tuhan. Dan kita bisa lengkapi ajakan untuk berubah itu dengan memberikan dorongan/motivasi, bahwa dengan hidup lebih sehat, maka ada banyak orang yang akan lebih menghargainya, ada banyak orang yang akan lebih bahagia oleh karena perubahan hidupnya.
Ini hanya satu contoh, tentu saja contoh ini bisa kita terapkan untuk hal-hal yang lain juga.
Nah, Mari kita belajar untuk saling membangun. Mari kita belajar untuk saling mengubah hidup. Bekal pengetahuan yang kita miliki adalah anugerah Tuhan yang bisa kita pergunakan. Pergunakan itu dengan penuh empati, dengan penuh kepedulian ... mulailah dengan mencoba untuk memahami dan mengerti perasaan orang lain. Saat ada perasaan yang dimengerti, saat ada keterbukaan yang tercipta, maka momen pengubahan hidup akan dinyatakan oleh Allah atas kita dan atas saudara-saudara kita.
Tuhan memberkati. Amin.
jk
p.s. : Refleksi ini dikhotbahkan di GKJ Bekasi pada hari Minggu, 1 Februari 2009.