skip to main |
skip to sidebar
"Nandur Pari Jero"
Refleksi atas Yunus 3:1-5,10 dan Markus 1:14-20Ada peribahasa atau pepatah Jawa yang berbunyi, “nandur pari jero”. “Pari jero” adalah satu jenis padi lokal dari tanah Jawa, yang memiliki karakteristik yang sangat menarik. Padi jenis ini memiliki sifat yang unggul, karena aromanya yang wangi, rasanya yang enak, dan teksturnya yang halus – pulen lah kalau biasa kita istilahkan. Nah, selain keunggulan sifatnya itu, pari jero juga memiliki karakteristik lain yang unik, yaitu masa hidupnya yang lebih panjang dibandingkan padi-padi jenis lain. Kalau seorang petani menanam jenis padi lainnya bisa panen 3-4 kali setahun, namun kalau ia menanam padi jenis pari jero, ia hanya akan memanen paling banyak 2 kali dalam setahun.“Nandur pari jero” atau kalau dibahasaindonesiakan “menanam padi jenis pari jero” dengan demikian ingin bicara tentang satu filosofi hidup di mana “kalau kita menghendaki kualitas yang terbaik untuk sesuatu yang kita upayakan, maka kita perlu mengupayakan itu dengan penuh kesabaran”. Ada unsur penantian, bahkan ketidakpastian, yang harus dihadapi bukan dengan sifat tidak sabar atau grasa-grusu – melainkan dengan kesabaran dan kepasrahan kepada alam, dan tentu saja kepada Tuhan yang memelihara alam.Saudara terkasih, semangat “nandur pari jero” ini kelihatannya bertentangan dengan filosofi kehidupan modern yang kita lihat pada masa kini. Kehidupan modern di sekitar kita menuntut maunya “apa-apa serba cepat” ... kerja harus efisien, efektif, cepat, dan berhasil guna – agar mendatangkan keuntungan.
Nah, tentu saja saya tidak anti terhadap modernisasi, hanya saja saya melihat bahwa kalau modernisasi diterapkan dengan melupakan nilai-nilai luhur yang dinyatakan oleh Firman Tuhan dan kearifan budaya lokal kita, maka komunitas-komunitas kita MUNGKIN sedang berjalan mundur. Nilai-nilai luhur apa yang saya maksudkan tadi? Nah, mari kita coba menyimak bacaan-bacaan kita.***
Yang pertama, kepada kita diperlihatkan bagaimana Allah memilih dan memakai Yunus bin Amitai, seorang Ibrani atau Yahudi yang masih muda dan bersemangat, untuk menjalankan misi dari Allah. Misinya jelas : menegur penduduk kota Niniwe, agar mereka bertobat kepada Allah – karena kalau tidak, maka Allah berencana akan menghancurkan kota yang besar itu. Apa yang menarik dari pemilihan Allah ini? Ada dua hal. Yang pertama, Yunus bin Amitai bukanlah seorang nabi besar, Alkitab mengisahkan bahwa ia hanyalah seorang Ibrani biasa. Yang kedua, kita melihat dari keseluruhan kitab Yunus, kita melihat bahwa Yunus sebenarnya enggan dipakai oleh Allah, bahwa ia terlihat ogah-ogahan saat harus menjalankan misi Allah itu. Dikisahkan saat ia diperintahkan untuk pergi ke Niniwe, ia justru berniat pelesir ke kota Tarsis. Saat Allah mendatangkan angin ribut, Yunus justru meminta dirinya dibuang saja ke tengah laut. Dan bahkan setelah Allah menyelamatkannya melalui pertolongan ikan besar di laut, Yunus pun masih dengan kaki yang berat dan hati yang ndongkol memberitakan Firman Tuhan. Bahkan di pasal terakhir kita bisa membaca bagaimana pergumulan Yunus untuk memahami apa yang Tuhan kehendaki bagi kota Niniwe.
Yunus bukanlah sosok ideal untuk menjadi nabi Tuhan. Ia sekilas nampaknya bukanlah seorang yang berbakat sejak lahir untuk menjadi seorang nabi seperti Yesaya atau Yeremia. Namun Saudaraku, perhatikan bagaimana Allah begitu sabar terhadap Yunus. Bagaimana Allah bersetia dengan tujuan-Nya untuk memakai Yunus. Dan bagaimana Allah melalui kesabaran dan kesetiaan-Nya itu mendidik dan membentuk Yunus serta memberdayakannya menjadi alat yang luar biasa bagi Tuhan! ... Kalau seandainya Yunus itu karyawan saya, mungkin saya sudah akan memecat Yunus dari awal, karena perilaku kerjanya tidak efisien, tidak efektif, dan tidak berhasil guna, bahkan ia nyata-nyata bekerja tidak dengan sepenuh hati. Untunglah, bukan saya boss-nya Yunus ... :)Begitu pula, di dalam bacaan kita dari bagian awal Injil Markus, perhatikan bagaimana Yesus memilih murid-murid-Nya. Perhatikan bagaimana pola rekrutmen yang dilakukan oleh Yesus. Kita tahu bahwa Yesus punya misi yang begitu amat sangat besar : membawa bangsa Israel bahkan seluruh dunia ini ke dalam pertobatan, karena dikatakan oleh Yesus, “Kerajaan Allah sudah dekat!”. Namun lihatlah SIAPA yang dipilih oleh Yesus sebagai murid-murid-Nya yang pertama : Andreas, Simon, Yakobus, dan Yohanes – yang mana mereka semua bekerja sebagai apa??? ... Ya, nelayan! Pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat biasa, rakyat jelata, bahkan di dalam kebudayaan mana pun di dunia, kaum nelayan biasanya adalah kelompok masyarakat yang miskin, terpinggirkan, dan berpendidikan rendah. Perhatikan bahwa Yesus tidak pergi ke Bait Allah dan mencari orang-orang yang terdidik sebagai murid-murid-Nya yang pertama. Yesus tidak mencari mereka yang best of the best. Ironisnya, ia justru mencari orang-orang yang tidak terdidik!
Dan kita kemudian membaca dalam ceritera-ceritera di semua kitab Injil, bagaimana dengan penuh kesabaran dan kesetiaan mereka dibentuk, dididik, dan diberdayakan oleh Yesus menjadi orang-orang yang luar biasa. Ini bukanlah proses yang cepat dan mudah ... Ada banyak dinamika yang terjadi ... murid-murid yang selalu tidak percaya dan bingung apa maksud Yesus ... murid-murid yang begitu emosional dan memperebutkan siapa yang paling disayang Gurunya ... Petrus yang bahkan jatuh ke dalam dosa yang begitu besar dengan menyangkal relasinya dengan Yesus ... bahkan Tomas yang menyangsikan kebangkitan-Nya. Lihatlah, bagaimana semuanya itu tidak dihadapi oleh Yesus dengan pola reward and punishment, namun dengan kesabaran, dengan kesetiaan pada tujuan, dan dengan kehendak hati yang teguh untuk memberdayakan murid-murid-Nya untuk menjadi yang terbaik.
Mari kita lihat apa hasilnya ... mari lihat pasal terakhir dalam Injil Markus, Markus 16:19-20, “Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah. Mereka pun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.” Menurut tradisi Kristiani, dikisahkan bahwa murid-murid Yesus benar-benar pergi ke berbagai penjuru dunia : Prancis, Spanyol, Italia, Yunani, Eropa Timur, Afrika, bahkan Arab dan India! ... erhatikan bagaimana para nelayan-nelayan muda dan orang-orang lain yang begitu sederhana itu diubah dan diberdayakan, ditransformasi oleh Allah menjadi pewarta-pewarta Injil yang terbaik!***
Nah, Saudaraku, barangkali kita pernah mengeluh dalam hati kita ... kok karyawanku ngono-ngonooo wae ... gitu-gituuu aja – tidak ada perubahan dalam cara dan kualitas kerjanya. Atau, pernahkah kita mengeluh dalam batin kita ... kok pacarku nggak ada perubahan, setiap malam Minggu selalu datang telat minimal 2 jam ... kok anakku sepertinya nggak ada perubahan ... dari dulu nakalnya masih sama, malah pinternya nggak nambah-nambah. Nah, Saudaraku, mari perhatikan ... barangkali, yang salah bukan hanya mereka, namun juga cara pandang kita atau pola yang kita pakai dalam mengelola dan membangun relasi kita dengan sesama. Kita telanjur terhisab oleh cara pikir jaman modern yang menilai orang berdasarkan apa yang mereka kontribusikan bagi diri kita atau bagi komunitas kita ... kita menetapkan indeks-indeks atau label-label yang kurang pas atas sesama kita ... kita mengukur orang lain, teman kita, pacar kita, pasangan kita, anak kita, orang tua kita, karyawan kita, penatua kita, diaken kita, bahkan pendeta kita, berdasarkan seberapa efisien dan efektif mereka bagi kita ... bahkan pola reward and punishment kita terapkan atas sesama kita, dengan melupakan bahwa ada nilai-nilai luhur dari Firman Tuhan dan dari budaya kita yang terlebih dulu perlu kita terapkan dalam menjalani hubungan kita dengan sesama : KESABARAN, KESETIAAN PADA TUJUAN YANG BAIK, DAN KEINGINAN UNTUK SELALU MEMBERDAYAKAN SESAMA.Saat anak kita nakal, mari kita belajar untuk terlebih dulu bersabar, mengingatkan mereka akan nilai-nilai yang baik, dan kita perbaiki mereka, tidak dengan semangat menghukum, tetapi dengan semangat memberdayakan.Saat pacar atau pasangan kita sepertinya tidak cukup memperhatikan kita, mari kita bersabar, kita ajak mereka bicara dari hati ke hati (sambil ngeteh mungkin ...), dan kita sadarkan mereka tentang pentingnya hubungan yang sedang dibangun bersama.Begitu pula saat ada warga jemaat kita, atau penatua, atau diaken, bahkan pendeta kita yang melakukan sesuatu yang kurang pas, mari kita terlebih dahulu menjaga semangat untuk bersabar, untuk menegur dengan menunjukkan apa yang Tuhan kehendaki atas mereka, dan mari kita gandeng mereka, kita tuntun mereka untuk mengenal apa yang terbaik bagi komunitas kita bersama.Ingatlah, bahwa saat Allah memilih Yunus ... saat Yesus memilih Andreas, Simon, Yakobus dan Yohanes ... bahkan saat Tuhan memilih Anda dan saya menjadi murid-murid-Nya ... sesungguhnya Allah sedang “nandur pari jero” – sabar dalam berproses, bersetia pada tujuan yang benar, dan menjaga dengan teguh semangat untuk memberdayakan menjadi yang terbaik. Allah tidak mengukur seberapa efisien dan efektif kita bagi-Nya (thank God!) ... dan, Allah tidak terburu-buru menerapkan pola reward and punishment dalam hubungan kita dengan-Nya.
Sudahkah nilai-nilai dan semangat itu yang kita pegang dan kita jalankan dalam hidup kita? Tuhan memberkati. Amin.
jk
Refleksi ini dikhotbahkan di GKJ Bekasi pada hari Minggu, 25 Januari 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar